Minggu, Februari 22, 2009

Budaya


UPACARA ADAT DI KAMPUNG NAGA


Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

Hajat Sasih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang mahaesa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai berikut:
Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28
Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar
agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama islam dapat dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di
sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena mesjid merupakantempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam mesjid keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.
Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar lagi tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untukmemohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan diBumi Ageung.
Acara selnjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.

Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran, tepat di muka pintu. mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru.
Usai upacara sawer dilanjutkan dengan upacara nincak endog. endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh masing-masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki mengucapkan salam 'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan 'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. kedua mempelai bersujud sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka. Masing-masing mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi
opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka.



URANG KANEKES

Urang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan
Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang
pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah
Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya
Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.




Ngalaksa (Lebaran) di Pedalaman Baduy

LEBAK - Perayaan hari besar "Ngalaksa" (Lebaran-red) di pedalaman Baduy Dalam (pakaian putih-putih) dan Baduy Luar (pakaian hitam-hitam) di Kabupaten Lebak, Provinis Banten, berlangsung sederhana."Kami merasa gembira dan bahagia bersama keluarga bisa merayakan hari raya ngalaksa dengan sederhana dengan warga lainnya," kata Sakim (55) seorang Baduy Luar warga Cibengkung, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Senin.Ia mengatakan, pada perayaan hari ngalaksa itu warga Baduy Dalam dan Luar saling mengunjungi tetangga atau saudara untuk saling maaf memaafkan. Selain itu, memberikan makanan untuk saling membantu antar saudara atau tetangga.Perayaan ini setiap tahun diperingati setelah menyelesaikan ritual kawalu selama tiga bulan. Sebab, ujar dia, selama memasuki kawalu kawasan Baduy menutup diri dari kunjungan warga luar, sehubungan tengah melaksanakan ibadah kapada Tuhan Yang Maha Kuasa."Dalam kawalu itu warga Baduy Luar dan Dalam melaksanakan ibadah-ibadah lain juga berpuasa selama tiga bulan," katanya.Akan tetapi, kata dia, saat ini kawasan Baduy diperbolehkan kembali untuk dikunjungi menyusul berakhirnya ritual kawalu dengan ditandai hari kemenangan atau ngalaksa.Menurut dia, pihaknya tahun ini merayakan hari raya ngalaksa bersama keluarga hanya seadanya, akibat dampak terjadi kenaikan berbagai bahan pokok."Saat ini harga-harga kebutuhan hidup mulai minyak goreng sampai bahan makanan mengalami kenaikan," kata dia.Begitu pula Ny Indah (45) seorang Baduy Luar warga Kadu Jangkung, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, mengaku dirinya bersama keluarga sangat bersyukur bisa merayakan hari ngalaksa dengan meningkatnya hasil panen huma ladang."Panen tahun ini kami bisa mencapai 200 ikat padi dibandingkan tahun lalu terserang hama," katanya.Sementara itu, Ketua Lembaga Adat Baduy, Jaro Tanggungan 12, Saidi (60), menyatakan, perayaan ngalaksa itu salah satu mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas diberikan rejeki dengan kesuburan bercocok tanam berladang huma.Namun demikian, Lanjut Saidi, setelah merayakan hari raya ngalaksa pihaknya akan melakukan acara Seba dengan mengunjungi kepala pemerintahan yakni Bupati dan Gubernur Banten dengan membawa hasil pertanian.(*)



Sérén Taun di Kampung Sindangbarang

Anis Djatisunda
Pun sapun ka luluhuranPun tabé ka handapeunanaKula deuk nyabla kula deuk metaSésérén taun nu undurKa taun nu ngagantianSapulukan sapakprakanPuja bakti ka hyang suciTanda punjung ka karuhunTi buyut canggah bao eujeung waréngSahunyur lembur SindangbarangTitilarna Pajajaran.Pun sapun..Sampura.. isun..!
Dina kahirupan masarakat sunda kuna, upacara sérén taun diayakeun pikeun ngahaturkeun rasa syukur ka Sanghyang Tunggal nu tos masihan hasil tatanén anu nyugemakeun dina taun nu kalangkung, ogé miharep dina taun nu baris dongkap, sagalana tiasa langkung ningkat. Numutkeun katerangan lisan, boh ti para kasepuhan, ogé tina carita pantun, upacara sérén taun tos dilakukeun ti saprak Karajaan Pajajaran masih jaya di buana. Harita prak-prakan éta upacara digelar babarengan di sakuliah karajaan, ti kawit ibukota Pakuan dugi ka daérah bawahanana.
Upacarana aya nu dilaksanakeun sataun sakali nu katelah Sérén Taun Guru Bumi, ogé aya nu dalapan taun sakali (sawindu) nu katelahna upacara Kuwéra Bhakti nu khusus diayakeun di puseur dayeuh Pakuan. Lamina sérén taun guru bumi biasana mung opat dinten, sementawis upacara sérén taun kuwéra bhakti diayakeun langkung rongkah salami sapuluh dinten.
Nu diagungkeun dina upacara sérén taun, nyaéta Déwi Sri atawa Déwi Paré jeung Sang Patanjala atawa Déwa Karaharjaan. Hal ieu pakait pisan jeung masarakat harita nu masih kénéh ngahuma. Kiwari, upacara sérén taun masih kénéh aya jeung eksis di lingkungan masarakat nu kahirupanana masih pakait jeung tatanén, utamana nu katelahna masarakat adat. Saperti masarakat adat Pancer Pangawinan Citorék, Urug, Ciptagelar, Cisungsang,Sirnaresmi, Cicarucub, Lebak Larang, Cisitu, Karang Polong, Tegal Lumbu, Ciusul, jeung réa-réa deui.
Tangtu waé upacarana ogé tos kapangaruhan ku robahna jaman, boh dina prak-prakanana, ogé dina nangtukeun waktuna. Ayeuna mah kalénder sunda buhun (Pajajaran) tos teu dianggo deui, diganti ku kalénder hijriah (Islam). Kitu ogé sérén taun tos dumasar kana pabaru hijriah. Sedengkeun di lingkungan masarakat urang Kanékés (nu sok disarebut urang Baduy), kusabab struktur masarakatna masih kawengku dina hiji lingkungan Désa Adat (Désa Kanékés) nu disebut Teulu Tangtu Cikeusik, Cikartawana, Cibéo, upacara nu dilakukeunana masih dina struktur Kawalu (Tembey, Tengah, Tutug). Upacarana Urang Rawayan/Kanékés kaitung masih rinci jeung utuh, upama dibandingkeun jeung nu biasa dilakukeun di kampong-kampung adapt liana, utamana nu dilaksanakeun ku masarakat adat pancer pangawinan
Kampung Sindangbarang
Kampung Sindangbarang, salah sahiji lembur nu aya di wilayah Kabupatén Bogor, di beulah wétanna urut ibukota Pakuan Pajajaran. Ditingal tina sistim budaya jeung karakteristik warga masarakatna, masih kénéh aya rundayanana jeung katurunan ti gegedén Pakuan Pajajaran, nu mangsa Pakuan digempur ku tangtara Banten kantos ngungsi ka wilayah Sukabumi Kidul. Aya babaraha rombongan nu marulih deui ka urut wilayah kampung halamanna, namung henteu langsung ka kompleks tilas Pakuan. Maranéhanana milih nangtukeun pakampungan di sabudeureun tilas kuta (bénténg) Pakuan.
Di antarana di lembur Taman dipingpin ku Ki Murwa Alih sabagé kokolotna, lembur Kuta Batu dipingpin ku Ki Susul Tunggal, lembur Cibeureum dipingpin ku Ki Ranggah Gading, lembur Pakancilan dipingpin ku Ki Mangparang, ogé masih aya babaraha kampung liana nu ngagaduhan kokolot sabagé pamingpinna. Dugi ka kiwari, éta lokasi jeung ngaran lembur téh masih aya kénéh, malih mah langkung ngalegaan, saperti nu kapungkurna disebut lembur Taman, ayeuna katelahna Taman Sari, ngaran hiji kecamatan hasil tina pamekaran ti kecamatan Ciomas.
Nami para kokolot tadi sanés nami asli aranjeunna nalika masih jadi gegedén di Pakuan, namung mangrupa nami énggal nu disaluyukeun jeung posisi anjeunna di tempat nu énggal. Anjeunna nempatkeun dirina salaku masarakat biasa, najan dina sistim budaya kahirupanana masih tetep dina tradisi Sunda-Pajajaran anu agraris.Sanajan warga masarakat kampung Sindangbarang, Cibeureum, Kuta Batu, jeung nu liana, kiwari tos pareumeun obor ka karuhun manéhna jaman klasik, namung titinggal pranata budaya karuhunna masih tetep leket (akrab) tur kapaliré dina kahirupan sapopoéna.
Hal ieu ditunjukeun ku masih ayana hiji kagiatan anu sipatna tradisi taunan nu disebut Sérén Taun atawa di babaraha tempat sok disebut ogé Sidekah Bumi, nu kagiatanana henteu dipuseurkeun di hiji tempat tapina dilakukeun di kelompokna séwang-séwang.Nilik kana istilahna jeung pasipatan kagiatanna anu taunan, sérén taun atawa sidekah bumi nu masih dipilampah ku babaraha wewengkon ieu, masih ngagaduhan benang beureum-na jeung sérén taun guru bumi nu mémang tos aya di jaman Karajaan Pajajaran. Ngan sajalan jeung dinamika
jaman, boh istilah, sipat kagiatan, ogé sistim niléyna tos seueur parobahanana.
Dumasar kana ha lieu, ogé pakait jeung kasadaran kana budaya warga masarakatna, upacara taunan ieu diupayakeun ditata deui dina kagiatan kelompok nu langkung rongkah. Sanajan nganggo konsép gelaran kiwari tapi filosofis jiwana masih ngarujuk kana upacara sérén taun guru bumi, sakumaha nu ayeuna masih kénéh eksis ogé di babaraha kelompok masarakat katurunan Sunda Pajajaran lianna, nu gaduh prédikat masarakat adat. Sabari miharep ngawujudna deui tradisi budaya sunda nu balukarna tiasa ningkatkeun karaharjaan hirup lahir batin pikeun wargana.
Anis Djatisunda Budayawan Linggih di Sukabumi


Saléh DanasasmitaLeukeun Nyukcruk Sajarah Sunda

Henteu réa budayawan Sunda nu leukeun ngaguar tur nyukcruk sajarah Sunda saperti nu tos dipilampah ku suargina Saléh Danasasmita. Mang Saléh, kitu landihanana nalika masih jumeneng kénéh, mémang miboga kamampuh nu kalintang onjoyna dina ngajujut, maluruh sarta némbongkeun agréngna sajarah karajaan Sunda.
Hasil karya mang Saléh tos dipikawanoh pisan ku nu mikacinta sajarah Sunda. Sok waé tingali di internét, sahenteuna aya dua ramat kaca (web page) nu eusina ngeunaan buku Sejarah Bogor sacara garis badagna. Padahal buku Sejarah Bogor nu dipedalkeun ku Pemda Kodya Bogor taun 1983 ieu, kiwari mah tos arang langka nu mibogana, paling aya ogé mangrupa kopifotona.
Kitu ogé hasil karya lalaki kalahiran Sumedang 27 Juni 1933 nu mangrupa buku, saperti Séwaka Darma, Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, Amanat Galunggung (1987), Babad Pajajaran (1977), Sejarah Jawa Barat (1984) tepi ka kiwari masih kénéh jadi cecekelan para panalungtik entragan anyar.
Karya tulis séjénna réa dimuat di sababaraha kalawarta mangsa taun 1960 -1985, saperti Manglé, Baranangsiang jeung Sipatahunan, nu kaseuseueurna mah medar perkara sajarah. Kiwari artikel-artikel nu sumebar téh kungsi dibukukeun, saperti buku Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi (2003) jeung Mencari Gerbang Pakuan (2006).
Kaparigelanana dina nalungtik tur ngécéskeun sajarah Sunda diaku pisan ku para kolégana, saperti nu dipisaur ku Prof. Dr. Édi S. Ékajati (alm) yén Mang Saléh téh dina unggal artikelna satékah polah ngajawab pertanyaan nu mucunghul di masarakat ngeunaan sajarah karajaan Sunda, ngécéskeun harti data nu kapanggih tina sumber anyar, ngaréngsékeun hanca para panalungtik entragan ti heula nu kabolér kénéh, memener hasil panalungtikan entragan ti heula nu kawilang tacan merenah, jeung ngarékonstruksi hasil panalungtikanana.
Kamampuh Mang Saléh dina neuleuman sajarah Sunda buhun tangtuna henteu ujug-ujug datang kitu waé, anjeunna kungsi nyuprih élmu pangaweruh di jurusan Sejarah IKIP Bandung éksténsien Bogor nepi ka meunang gelar doktorandus, remen diajar basa Kawi jeung hurup Sunda buhun nepi ka bisa maca jeung naliti naskah-naskah kuna. Teu katinggaleun ogé diajar basa Walanda pikeun ngungkabkeun hasil dokuméntasi jeung panalungtikan ti ahli-ahli urang Walanda.
Seueur Yasana Pikeun Urang Bogor
Sok sanajan dilahirkeun di Sumedang, tapi Mang Saléh téh leuwih ti sawaréh hirupna ngalalakon di wewengkon Bogor. Kukituna jadi teu anéh mun seueuer hasil karyana jeung pangabdianana pikeun urang Bogor. Di antarana nyaéta ngadamel buku Sejarah Bogor nu eusina munel pisan ku data sajarah ti mimiti nyabit-nyabit prasasti Raja Purnawarman tepi ka mangsa VOC tos kumelendang di Kampoeng Baroe.
Hasil karya Mang Saléh lianna nu pakait pisan jeung Kota Bogor nyaéta ngaguar sarta nyindekkeun tanggal 3 Juni 1482 sabagé mimiti ngadegna dayeuh Pakuan nu diaku jadi poé kalahiran Kota Bogor.Pamanggih Mang Saléh ieu sacara guratbadagna mah dumasar kana eusi prasasti Batu Tulis Bogor nu mangrupa sumber primér, ditambah ti sababaraha katerangan sumber sekunder, nu antukna Anjeunna nepi kana kacindekan yén tanggal 3 Juni ngadegna Bogor téh. Tepi ka kiwari pamendak Mang Saléh ieu tacan aya nu ngotéktak deui, karuhan nu bisa meunggaskeun mah, asa can aya hawar-hawarna acan.
Mang Saléh ogé kungsi ilubiung dina prosés nyieun ngaran jalan-jalan nu aya di Perumnas Bantar jati jeung Kompléks Villa Duta. Jalan di Perumnas Bantar Jati dingaranan ku bagian-bagian tina imah panggung saperti bangbarung, lincar, tatapak, jeung nu lianna. Sedengkeun jalan di Villa Duta dingaranan ku ngaran tempat atawa tokoh nu aya hubunganana jeung sajarah Sunda. Béda pisan kaayaanana jeung mangsa kiwari, tos teu aya deui pihak nu nyieun kompléks paimahan nu daék tatanya ka budayawan Sunda pikeun méré ngaran jalan ku ngaran anu nyunda siga jaman Mang Saléh jumeneng kénéh. Matakna teu anéh mun ayeuna aya jalan maké ngaran nu sabenerna éta ngaran téh pamali dipaké di tatar Sunda mah.
Sagédéngeun leukeun ngagugulung sajarah Sunda, salaku budayawan nu masagi, carogé Ibu Tasrianah (73) ieu, ogé ancrub kana widang seni jeung sastra Sunda. Taun 1957 babarengan jeung réngréngan sastrawan Sunda nu lianna, Mang Saléh maparajian lahirna majalah Manglé. Ti mimiti taun 1961 tepi ka 1963 anjeunna mingpin majalah Baranangsiang nu medal di Bogor.
Budayawan Sunda nu kungsi jadi anggota DPRD Kodya Bogor (1964 - 1967) ieu sering nulis sajak, dangding jeung carpon. Malah Mang Saléh ogé ngadamel sababaraha naskah drama/sandiwara Sunda, ti antarana Langit Ceudeum Béngras Deui, Lutung Kasarung, Sunda Tungtang, Ruhak Pajajaran, sarta Sawunggaling.
Mang Saléh pupus ping 8 Agustus 1986 dina yuswa 53 taun, nalika nuju getol-getolna neuleuman naskah-naskah Pangéran Wangsakerta ti Cirebon. Tos lami mémang anjeunna ngantunkeun, tatapi hasil karyana masih kénéh dianggo tepi ka ayeuna. Duka saha nu baris nuluykeun tapak léngkahna? (HMA)



Cihaliwung nu Sok Nyieun Haliwu…

Héndra M. Astari
Datang ka Tajur MandiriSacu(n)duk ka Suka BeureusDatang ka Tajur NyanghalangNyanglandeuh aing di engkihMeu(n)tasing di Cihaliwung…(Bujangga Manik)
Tomé Pirés, sodagar ti Portugis nu kungsi sindang di palabuan Kalapa taun 1513, kungsi méré gambaran yén puseur dayeuh karajaan Sunda Pajajaran bisa dijugjug salila dua poé ti palabuan Kalapa, jeung jalan nu ngahubungkeunana teu aya lain, nyaéta Cihaliwung. Dina carita pantun Mundinglaya Dikusumah ogé dicaritakeun nalika Mundinglaya miang ti karaton sabari diiring ku Kidang Pananjung jeung Gelap Nyawang mapay-mapay Cihaliwung ka hilirkeun, nu ahirna nepi ka Pulo Putri.
Carita di luhur némbongkeun posisi Cihaliwung”ayeuna disarebut Ciliwung”mangsa kapungkur nu jadi sarana transportasi pikeun masarakat di sabudeureunana. Sagala rupa barang, utamana mah hasil bumi dibawa maké parahu ngaliwatan Cihaliwung ieu, ngajugjug ka Kalapa nu jadi palabuan dagang pangraména mangsa harita. Éstu teu kacaturkeun aya mamala kusabab Cihaliwung caah jaman kapungkur mah, meureun kitu ogé can réa jalma jeung padumukan di pasisian Cihaliwung cara jaman kiwari.
Caah gedé kakara kacaritakeun taun 1872 nalika Jakarta, nu harita masih kénéh disebut Batavia, kungsi kakeueum ku motahna walungan Cihaliwung tug nepi ka kawasan nu kaasup daérah élite saperti kawasan Harmoni. Ti harita pamaréntah Hindia Walanda tihothat nyieun saluran anyar (banjir kanal) katut panto caina pikeun ngamalirkeun cai Cihaliwung sangkan bisa ngurangan akibat nu ditimbulkeun ku motahna Cihaliwung mangsa usum ngijih.
Sagédéngeun éta, Walanda ogé ngawangun bendung di tebéh girang walungan Cihaliwung, persisna mah di daérah Katulampah. Bendung ieu ngawitan diwangunna taun 1889 nepi ka réngsé jeung digunakeunana taun 1911, gunana pikeun ngukur lobana cai nu ngagolontor ka hilirkeun, sangkan bisa méré tanda bakal ayana bahaya caah ka kota Batavia, lamun luhurna cai geus ngaliwatan wates nu normal.
Ti bendung Katulampah, ngamalirna cai Cihaliwung nepi ka Batavia perelu waktu sakitar genep jam, kukituna aya kénéh lolongkrang waktu pikeun nyiapkeun sagala kamungkinan dina nyanghareupan banjir. Tangtu waé ayana bendung Katulampah ieu digunakeun ogé pikeun irigasi, nu mangsa harita mah sawah téh masih satungtung deuleu.
Cihaliwung kiwari
Kumaha kaayaan Cihaliwung kiwari? Tos teu bireuk deui kaayaanana tambah ramijud wae! Tong boroning aya parahu nu lalar liwat, dalah érétan gé tos teu katémbong-témbong acan, paling ogé masih sok diparaké tempat keur MCK ku warga di sabudeureunana. Nu ngala lauk ku jala mah tos langka pisan, ari nu nguseup mah masih kénéh sok katénjo hiji dua.
Awal Pébruari 2007 Cihaliwung motah deui, ngabalukarkeun sabagian wilayah Jakarta kakeueum ku banjir, karugian material nepi ka triliunan rupia katut puluhan jalma nu jadi korban jiwa, hiji karugian nu teu bisa diwilang saeutik!
Mangsa caah gedé harita, luhur cai di bendung Katulampah nepi ka 250 cm, padahal kaayaan nu normal mah ngan saukur 80 “ 100 cm. Ditambah hujan badag di wilayah Jabodétabek tur ogé kawasan Puncak jeung Cianjur, nu lumangsung dina waktu nu lila, ngabalukarkeun babaraha tempat di wilayah Bogor nu kaliwatan ku Cihaliwung kungsi longsor.
Di daérah Sempur, utamana di sisi-sisi Cihaliwung kungsi dipasangan jajaga sangkan jalma teu ka dinya kusabab rawan longsor téa. Gedéna caah Cihaliwung ogé kungsi ngaambleskeun salah sahiji sisi jembatan Satu Duit di Warung Jambu. Komo urang Jakarta mah, lamun kotana katarajang banjir téh, sok laju wé nyalahkeun urang Bogor, Banjir kiriman ti Bogor, kitu tah gegerendengna téh. Padahal ari banjir di Jakarta mah sanés alatan Cihaliwung caah wungkul, tapi ogé gabungan ti babaraha faktor nu lian, saperti hujan badag nu leuwih ti ukuran normal di wilayahna, komo bari lumangsungna rada lila mah. Ogé kaayaan saluran caina, ti mimiti got, susukan nepi ka walunganana, contona saluran nu kapendet (misalna ku runtah), déétna dadasar susukan jeung heureut sarta heurinna walungan, boh kunu bubuara di sisi-sisina, ogé ku ayana wangun beton di badan walungan éta.
Kitu ogé tempat-tempat ˜parkir cai saperti sétu jeung ranca (rawa) nu tos saralin jinis jadi leuweung beton. Hal-hal ieu tangtu waé bakal ngabalukarkeun kajadian banjir, saupama hujan badag ngaguyur terus-terusan sanajan di daérah girangna mah teu hujan.
Cihaliwung dina mangsa nu baris datang
Tos seueur para pihak nu sumbang saran pikeun memener kaayaan Cihaluwung nu masih pikawatireun, utamana dina usum ngijih. Babaraha usulan nu tiasa diregepkeun di antarana :
1. Ngahéjokeun deui pabangbon (wewengkon panyerepan cai), utamana di daérah girang Cihaliwung. Ceuk para ahli, kiwari mah ngan sakitar 15% cai hujan nu nyerep kana taneuh, sedengkeun 85% nu lianna mah palid ka walungan.2. Nyieun sumur panyerepan cai, ieu ogé maksudna pikeun ngurangan cai hujan nu langsung palid ka walungan.3. Ngalébaran jeung ngajeroan badan walungan nu ka tebéh hilir. Sakuduna mah lega (lébar jeung jero dadasar) walungan di daérah Dépok jeung Jakarta leuwih gedé tinimbang di daérah girangna (Bogor).4. Ngaréngsékeun saluran banjir kanan wétan.5. Ngawangun waduk di sagigireun Cihaliwung, boh nu sipatna ˜témporér (ngan kaeusi cai dina usum ngijih wungkul), ogé nu permanén.
Pangrojong ti masarakat ogé tangtuna dipihareup pisan pikeun ngaraksa Cihaliwung ieu, saperti henteu miceun runtah ka walungan, teu ngaruksak pabangbon, ogé teu nyieun wangunan di sisi atawa di badan walungan. Mémang diperelukeun usaha nu kalintang dariana ti sakabéh lapisan masarakat sarta ˜komitmen nu kuat ti pamaréntah sangkan Cihaliwung nu beresih tur mawa mangpaat keur balaréa bisa ngawujud. Kacipta Cihaliwung nu ngamalir ngalun ka hilirkeun nu teu kungsi deui nyieun haliwu….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar